Rabu, 04 April 2012

PROFIL ORANG SUKSES



Trisetyo Budiman
Lulusan ITB yang Memilih
Bisnis Baso INO


Trisetyo Budiman yang sudah menjabat sebagai National Sales Manager di sebuah perusahaan asing, memilih hengkang dari perusahaannya. Ia justru merintis usaha berdagang bakso, yang kemudian memang berhasil mengantarnya sebagai pengusaha sukses.
Sebagian orang, mungkin sudah banyak yang mengetahui merek dagang Bakso INO. Kedai Bakso INO tersebar di 12 lokasi, antara lain di Kalibata (Pasar Minggu), Cijantung, Bekasi Timur, Ciputat, Jalan Tol Cikampek KM 19, Warung Buncit, Cikeas, Kemang, hingga ke Batam. “Lokasi pertama bisnis yang saya bangun di Pasar Minggu tahun 1999,” kata Trisetyo Budiman (45), yang ditemui, Rabu (9/5), di Departemen Perdagangan. Trisetyo diundang khusus Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dalam rangka memperkenalkan makanan khas yang dibuat oleh UKM.
Setelah mundur dari perusahaan tempatnya bekerja, dengan bermodal Rp 15 juta, Trisetyo membuka kedai pertamanya. “Hari pertama buka, dagangan saya berikan gratis, sehingga cepat dikenal dan tidak butuh waktu lama untuk mempromosikannya,” katanya. Soal merek dagang, Tri mengatakan diambil dari nama panggilan anak laki-laki satu satunya yang nama sebenarnya Platinum. “Tapi sewaktu ditanya sumber nama INO, saya jawab Indonesia Number One. Itu cuma joke,” katanya sambil tertawa.
Untuk modal membangun usaha, diakuinya semuanya berasal dari kantong sendiri. Bahkan hingga pembukaan ke-12 gerai itu dilakukannya secara mandiri, tidak pernah bergantung dari pinjaman bank. Kini, gerainya di Jalan Tol Cikampek KM 19 merupakan kedai terluas hingga 200 meter persegi.
Ia mengakui persaingan di bidang makanan rakyat ini sudah sangat ketat. Namun, ia tidak surut meski tidak punya latar belakang bisnis. Lulusan ITB Teknik Kimia ini punya strategi agar mampu bersaing. Menurutnya produk yang dijual harus punya nilai tambah yang sangat signifikan. Di setiap kedai, menu makanan yang ditawarkan juga tidak hanya bakso, melainkan sudah berkembang ke berbagai jenis makanan lainnya. “Rasa makanannya enak, makanannya bersih, pelayanannya baik, sehingga pelanggan merasa nyaman, selain harganya juga terjangkau,” katanya soal strateginya.
Trisetyo mengaku ia membuat sendiri racikan resep bakso berkualitas yang sangat berbeda dari produk bakso lainnya. Kalau biasanya dalam bakso ada lemak, bakso yang ditawarkannya tidak ada lemaknya, semuanya daging sapi. “Bakso yang kami suguhkan semuanya dengan bahan-bahan berkualitas nomor satu. Hasilnya juga beda dengan bakso lainnya. Semuanya resep sendiri,” katanya bangga. Sekarang dari 12 kedai miliknya, Trisetyo mampu meraih omzet Rp 300-350 juta per hari, Pendapatan Pasti.
Keputusannya untuk berbisnis, didasari pertimbangan yang sangat prinsip, yakni agar masa pensiun dirinya memiliki pendapatan yang pasti dan lebih. Di satu sisi, diakuinya, penghasilannya sebagai manajer di perusahaan yang bergerak di packaging, cukup baik. “Saya mendapat mobil dan rumah dari perusahaan. Dalam setahun saya pasti ke Hong Kong untuk menghadiri rapat tahunan di kantor pusat. Banyak negara sudah saya kelilingi. Tapi itu tidak menjamin masa pensiun saya,” jelasnya.
Itu sebabnya ia menegaskan perlu ada strategi jauh ke depan. Harus ada pemasukan yang lebih menjamin. Lagi pula, diungkapkannya, di perusahaan asing ada semacam kebiasaan yang sudah umum, hanya “dipakai” dalam waktu yang singkat. “Lifecycle-nya singkat, cuma 10 tahun setelah itu selesai,” jelasnya.
Bisnis yang didirikannya bukan tanpa kendala. Ia mengaku mendapat kesulitan untuk masuk ke mal, padahal ia siap membayar sewa yang dipatok oleh pengelola. “Semua mal yang saya datangi menolak, dengan alasan sudah penuh,” katanya sengit. Trisetyo masih bertekad untuk dapat berdagang di mal meski ditolak. Ia juga menegaskan siap bersaing dengan restoran-restoran besar yang ada.
Masih ada keinginannya lagi, yaitu membuat waralaba terhadap usaha yang tengah ditekuninya ini. Namun, ditegaskannya, waralaba yang akan dibuatnya kelak harus menguntungkan pihak pembeli waralaba. “Saya ingin membuat konsep yang berbeda dengan waralaba yang ada sekarang,” katanya.
Ia menekankan semangat wirausaha harus ada pada setiap orang. Alasannya, dengan menjadi pegawai atau karyawan potensi yang ada pada setiap orang tidak seimbang dengan reward yang diperoleh. “Value yang ada pada diri kita harus dioptimalkan,” tegasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar