Trisetyo Budiman
Lulusan ITB yang Memilih
Bisnis Baso INO
Lulusan ITB yang Memilih
Bisnis Baso INO
Trisetyo Budiman yang sudah menjabat
sebagai National Sales Manager di sebuah perusahaan asing, memilih hengkang
dari perusahaannya. Ia justru merintis usaha berdagang bakso, yang kemudian
memang berhasil mengantarnya sebagai pengusaha sukses.
Sebagian orang, mungkin sudah banyak
yang mengetahui merek dagang Bakso INO. Kedai Bakso INO tersebar di 12 lokasi,
antara lain di Kalibata (Pasar Minggu), Cijantung, Bekasi Timur, Ciputat, Jalan
Tol Cikampek KM 19, Warung Buncit, Cikeas, Kemang, hingga ke Batam. “Lokasi
pertama bisnis yang saya bangun di Pasar Minggu tahun 1999,” kata Trisetyo
Budiman (45), yang ditemui, Rabu (9/5), di Departemen Perdagangan. Trisetyo
diundang khusus Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dalam rangka
memperkenalkan makanan khas yang dibuat oleh UKM.
Setelah mundur dari perusahaan
tempatnya bekerja, dengan bermodal Rp 15 juta, Trisetyo membuka kedai
pertamanya. “Hari pertama buka, dagangan saya berikan gratis, sehingga cepat
dikenal dan tidak butuh waktu lama untuk mempromosikannya,” katanya. Soal merek
dagang, Tri mengatakan diambil dari nama panggilan anak laki-laki satu satunya
yang nama sebenarnya Platinum. “Tapi sewaktu ditanya sumber nama INO, saya
jawab Indonesia Number One. Itu cuma joke,” katanya sambil tertawa.
Untuk modal membangun usaha, diakuinya
semuanya berasal dari kantong sendiri. Bahkan hingga pembukaan ke-12 gerai itu
dilakukannya secara mandiri, tidak pernah bergantung dari pinjaman bank. Kini,
gerainya di Jalan Tol Cikampek KM 19 merupakan kedai terluas hingga 200 meter
persegi.
Ia mengakui persaingan di bidang
makanan rakyat ini sudah sangat ketat. Namun, ia tidak surut meski tidak punya
latar belakang bisnis. Lulusan ITB Teknik Kimia ini punya strategi agar mampu
bersaing. Menurutnya produk yang dijual harus punya nilai tambah yang sangat
signifikan. Di setiap kedai, menu makanan yang ditawarkan juga tidak hanya
bakso, melainkan sudah berkembang ke berbagai jenis makanan lainnya. “Rasa
makanannya enak, makanannya bersih, pelayanannya baik, sehingga pelanggan
merasa nyaman, selain harganya juga terjangkau,” katanya soal strateginya.
Trisetyo mengaku ia membuat sendiri
racikan resep bakso berkualitas yang sangat berbeda dari produk bakso lainnya.
Kalau biasanya dalam bakso ada lemak, bakso yang ditawarkannya tidak ada
lemaknya, semuanya daging sapi. “Bakso yang kami suguhkan semuanya dengan
bahan-bahan berkualitas nomor satu. Hasilnya juga beda dengan bakso lainnya.
Semuanya resep sendiri,” katanya bangga. Sekarang dari 12 kedai miliknya,
Trisetyo mampu meraih omzet Rp 300-350 juta per hari, Pendapatan Pasti.
Keputusannya untuk berbisnis, didasari
pertimbangan yang sangat prinsip, yakni agar masa pensiun dirinya memiliki
pendapatan yang pasti dan lebih. Di satu sisi, diakuinya, penghasilannya
sebagai manajer di perusahaan yang bergerak di packaging, cukup baik. “Saya
mendapat mobil dan rumah dari perusahaan. Dalam setahun saya pasti ke Hong Kong untuk menghadiri rapat tahunan di kantor pusat.
Banyak negara sudah saya kelilingi. Tapi itu tidak menjamin masa pensiun saya,”
jelasnya.
Itu sebabnya ia menegaskan perlu ada
strategi jauh ke depan. Harus ada pemasukan yang lebih menjamin. Lagi pula,
diungkapkannya, di perusahaan asing ada semacam kebiasaan yang sudah umum,
hanya “dipakai” dalam waktu yang singkat. “Lifecycle-nya singkat, cuma 10 tahun
setelah itu selesai,” jelasnya.
Bisnis yang didirikannya bukan tanpa
kendala. Ia mengaku mendapat kesulitan untuk masuk ke mal, padahal ia siap
membayar sewa yang dipatok oleh pengelola. “Semua mal yang saya datangi
menolak, dengan alasan sudah penuh,” katanya sengit. Trisetyo masih bertekad
untuk dapat berdagang di mal meski ditolak. Ia juga menegaskan siap bersaing dengan
restoran-restoran besar yang ada.
Masih ada keinginannya lagi, yaitu
membuat waralaba terhadap usaha yang tengah ditekuninya ini. Namun,
ditegaskannya, waralaba yang akan dibuatnya kelak harus menguntungkan pihak
pembeli waralaba. “Saya ingin membuat konsep yang berbeda dengan waralaba yang
ada sekarang,” katanya.
Ia menekankan semangat wirausaha harus
ada pada setiap orang. Alasannya, dengan menjadi pegawai atau karyawan potensi
yang ada pada setiap orang tidak seimbang dengan reward yang diperoleh. “Value
yang ada pada diri kita harus dioptimalkan,” tegasnya.